RINGKASAN ACHMAD YANI TUMBAL REVOLUSI

JUDUL  : ACHMAD YANI TUMBAL REVOLUSI
PENERBIT  : GALANGPRESS
TAHUN TERBIT : JAKARTA, 2007
TEBAL BUKU : 308 Halaman

RINGKASAN NO. 1-2 / Bab dan Halaman 15-40

Kamis, 30 September 1965, aku dan ketiga adikku menunggu kedatangan bapak dari kantornya Markas Besar Angkatan Darat yang terletak di Jalan Merdeka Utara. Siang itu sekitar pukul 14.00, kendaraan Oldsmobile hijau militer bernomor AD-1 dengan disertai regu pengawal yang mengendarai Jip memasuk halaman rumah di jalan Lembang No.D58. Begitu anggun penampilan iringan mobil, dan semua orang di dalamnya dengan pakaian seragam hijau, tampan dan gagah. Bapak turun dari mobil dan menerima jajar kehormatan dari pengawal rumah kami. Selesai menerima kehormatan, bapak masuk ke dalam rumah dan didapatinya kami menunggu, seperti biasanya langsung menegur kami dan bertanya, “ibu nandi?” (Ibu di mana?), dan dijawab oleh kami, “Ibu di dapur sedang menyiapkan makan siang.” Bapak, ibu dan kami pasti menginap di Rendeng. Kami juga dibiasakan oleh Bapak untuk pergi ke kali pagi-pagi untuk buang hajat dan lain-lain. Untuk keperluan itu kami berangkat bersama-sama ke kali yang airnya deras. Sedangkan untuk mandi, kami semua mandi di rumah Mbah karena ada bak dan air didapat dari menimba dari sumur. Apabila kami kembali ke Jakarta, kendaraan, akan penuh dengan makanan, mulai dari ayam goreng, lengkap dengan sambalnya, pisang goreng, kedondong, rambutan, juadah, dan banyak lagi. Pokoknya tidak akan kelaparan selama sebulan. Itulah saat-saat yang paling menyenangkan. 2. 3-4 / 41-60 Di Batavia Achmad Yani sudah mulai masuk sekolah Froebel (Taman kanak-kanak). Seringkali sekembali dari sekolah, Yani di panggil oleh Jenderal Halfstein untuk diperkenalkan kepada tamutamunya sebagai anak yang pandai dan halus budi bahasanya. Hanya Yani sering jengkel, kalau dipamer-pamerkan kepada para tamu seperti itu, demikian Mbah Putri menceritakan padaku. Pada tahun 1942 dengan menyerahnya Pemerintah Belanda kepada Balatentara Jepang, semua orang Belanda ditawan Jepang. Keluarga Wongsoredjo akhirnya diputuskan kembali ke Desa Rendeng menempati rumah di tanah yang dibelinya karena tak memiliki “tuan” lagi, dengan halaman yang amat luas serta beberapa bidang sawah. Sementara itu bentrokan-bentrokan antara pemuda dengan  satuan-satuan Jepang, yang berusaha memelihara kekuasaan sampai tibanya kekuasaan Sekutu, tidak dapat dihindarkan lagi. Untuk menghadapi tantangan tersebut para para pemuda membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan –badan kelasykaran lainnya. Keadaan berkembang dengan cepat. Republik Indonesia yang baru lahir harus mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan, yang baru saja ditegakkannya. Yaitu dari ancaman kekuatan Kolonial Belanda, yang kembali berniat menegakkan kembali cengkeraman kekuasaan. 3. 5-6 / 61-80 Dalam situasi sedemikian, Yani dengan prakarsanya sndiri bersama kawan-kawannya dari bekas PETA di Prembun kemudian membentuk Batalyon III Badan Keamanan Rakyat atau lebih dikenal dengan Resimen XIX. Komandan Resimen adalah Letnan Kolonel Maryadi. Di bawah Resimen XIX ini terdapat lima batalyon, yaitu Batalyon I Suryo Sumpeno, Batalyon II Kusen, Batalyon III Ahmad Yani, Batalyon IV Suwito Haryoko, Batalyon V yang dipimpin oleh seorang perwita bekas KNIL. Tidak lama setelah kami pulang ke Tegal, bapak dan ibu  datang ke sekolah untuk meminta izin pindah ke Jakarta. Hari yang dinantikan itu pun tiba. Aku tidak ingat tanggalnya tapi tahun itu adalah tahun 1956 dan bulannya Oktober. Dengan kereta api kami berangkat ke Jakarta. Yang mengantar ke Stasiun banyak sekali termasuk Oom Mukti, bekas ajudan bapak dulu, Pak Kasan tukang kebun dan mungkn sebagian penduduk Tegal. Suasananya ramai sekali. Pak Amat pulang ke kampungnya, Batang, dan tak lama kemudian meninggal karena, TBC penyakit yang dideritanya. 4. 7-8 / 81-120 Sesudah perjalanan dengan kereta api menuju Jakarta, yang cukup lama dan melelahkan, sampailah kami di stasiun Gambir menjelang senja. Ternyata di stasiun ada kendaraan dan petugas dari Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang menjemput. Dengan kendaraan kami sekeluarga menuju hotel Des Indes di Jalan Hayam Wuruk. Aku pikir benar juga kata pelayan hotel tadi. Tak lama kemudian mungkin sekitar delapan bulanan, kami tinggal di hotel Des Indes, kompleks militer di Jalan Lembang itu sudah hampir siap. Aku tidak tahu bagaimana bapak mendapatkan rumah yang di pojok itu, yang halamannya luas sekali. Aku baru mengetahui bahwa bapak dan ibu membeli sebidang tanah di daerah Cipayung. Dan mulai dibangun sebuah rumah semi permanen. Bapak dan ibu menempati kamar yang paling besar dan kami menempati kamarkamar di sebelahnya. Sedangkan, seperti biasa, Untung dan Adi akan tidur bersama bapak dan Ibu. Demikianlah kemudian menjadi kebiasaan, pada setiap hari sabtu sore kami sekeluarga ke Cipayung dan baru pada hari Minggu sore kami ke Jakarta. Di sinilah aku dapat merasakan betapa bahagianya apabila bapak dan ibu berada di tengah-tengah kami. Bapak mulai bertemu Bung Karno mungkin sekitar tahun 1959 dan mungkin juga sebelumnya. Yang aku tahu bapak dipanggil ke Istana Bogor dan ditawari menjadi Atase Militer di Italia. Namun tawaran itu bapak tolak dengan alasan “Sulit”, sebab anaknya banyak. Sejak peristiwa itu bapak sering sekali dipanggil Presiden Sukarno, Demikian seringnya bapak dipanggil sehingga seolah-olah bapak sudah dekat sekali dengan beliau. Pada 1 Januari 1960, bapak naik pagkat menjadi Brigadir Jenderal. Berita yang kami dengar sangat sederhana, tertulis di secarik kertas seperti teleks, kami terima pada malam hari waktu bapak dan ibu tidak di rumah. Saking senangnya, kami berteriak-teriak sendiri. Itulah berita naik pangkatnya bapak, Brigadir Jenderal Achmad Yani. Tepat satu tahun kemudian, 1 Januari 1961 pangkat bapak naik lagi menjadi, Mayor Jenderal. 5. 9-10 / 121-192 Perintah Bung Karno adalah: Sebelum ayam berkokok 1 Mei 1963, Irian Barat harus sudah kembali ke pangkuan Republik Indonesia. Bapak lalu kelihatan sangat sibuk sekali, sebab bapak ditunjuk oleh Bung Karno sebagai juru bicara tunggal Panglima Tertinggi masalah Irian Barat dan Kepala Staf Operasi Pembebesan Irian Barat. Di koran- koran selalu menjadi berita utama, “Jubir tunggal” itulah bapak. Rapat hampir setiap hari di Istana. Begitu dekatnya bapak dengan Bung Karno mungkin inilah titik timbulnya kecemburuan di kalangan tertentu. Inilah menurut pemikiranku. Sesudah Irian Barat selesai timbul masalah-masalah lain  dalam negeri. Partai Komunis Indonesia menjadi kuat, karena diberi angin oleh Bung Karno. Kiblat politik luar negeri pada saat itu mengarah kepada “poros Hanoi-Pyongyang-Peking.” 6. 11-12 / 193-202 Dalam upaya Yani menghambat perkembangan pengaruh PKI ia melakukannya di semua bidang dan tingkatan. Bukan hanya melalui lembaga-lembaga politik formal, tetapi juga lembagalembaga sosial-politik lainnya. Salah satu dari lembaga sosialpolitik yang dipergunakan Yani adalah organisasi SOKSI, yang dipimpin oleh Suhardiman. Suhardiman mengenal Yani pada hari Lebaran 1963 siang hari di Jalan Lembang Terusan, yang sekarang menjadi museum Sasmita Loka. Pada waktu itu tamu yang berhalal-bihalal tinggal beberapa orang, sehingga Suhardiman yang pada waktu itu masih berpangkat Mayor berkesempatan bicara dengan Yani secara panjang lebar mengenai masalahmasalah SOKSI pada khususnya, maupunn masalah-masalah politik pada umumnya. Pada waktu itu Yani masih sebagai Deputi Kasad. Bapak sangat tertarik kepada pemikiran Mayor Suhadirman dan ia meminta penjelasan secara rinci latar belakang dan gagasan pembentukan SOKSI. Mayor Suhadirman lalu memaparkan, bagaimana sebaiknya sikap dan hubungan SOKSI dengan Bng Karno pada waktu itu. Sebagai seorang taktikus Yani memahami peranan dan kemampuan SOKSI, dan pada saat itu juga ia merestui dan supaya peranannya dikokohkan, sesuai dengan latar belakang maupun motivasi perjuangannya yakni untuk menghadapi Partai Komunis Indonesia. Dikumandangkannya Dwikora yang menentang  imperialisme dan kolonialisme sehubungan dibentuknya negara boneka Malaysia, maka rumah di Taman Suropati digunakan sebagai tempat latihan militer oleh para istri tentara. Keadaan di rumah itu ramai sekali, ada kelas-kelas belajar, ada latihan tembaktembakan, semua menggunakan baju militer. Semua mengangkat senjata siap untuk perang! Ibu-ibu kelihatan lucu-lucu karena celana yang dipakai adalah celana suaminya. Bayangkan! Tapi mereka tampak senang betul seperti main-main. Terasa benar kami sangat jarang ketemu bapak dan ibu. Orang tua kami sangat sibuk, walaupun demikian kami tetap belajar dengan baik. Kami sama sekali tidak terpengaruh, mungkin karena kesibukan ibu di rumah saja. Bapak sering juga memberikan pengarahan, malah rapat pimpinan AD seluruh Indonesia bersama semau panglima juga diadakan di rumah. 7. 13-14 / 203-250 Pada hari itu, Kamis 30 September 1965, setelah upacara di Tanjung Priok untuk penyerahan Sam karya Nugraha, bapak pulang pukul dua siang dan kemudian bermain golf. Pada sore hari itu Panglima Kodam V /Brawijaya Mayor Jenderal Basoeki Rahmat menyampaikan kepada ajudan, Mayor Subardi, bahwa beliau harus bertemu dengan bapak. Kalau mungkin malam itu juga, karena ada peristiwa penting yang akan dilaporkan. Bapak menyetujui dan Jenderal Basoeki Rachmad datang didampingi oleh ajudan Gubernur Jawa Timur, Wijono. Mereka elaporkan kejadian pengrusakan kantor Gubernur oleh Gerwani PKI, namun situasi dapat diatasi. Bapak kemudian memanggil ajudan Mayor Subardi untuk mengirim teleks kepada Gubernur Wijoyo yang isinya: “Men/Pangad berterima kasih pada gubernur dan satlut atas keberhasilannya mengatasi keadaan,” Bapak berpesan kepadanya bahwa besok pagi, dalam pertemuan dengan Presiden pukul 06.30 pagi, bapak akan membawa Mayor Jenderal Basoeki Rahmat untuk melapor kepada Presiden. Sarwo Edihe Wibowo (Letnan Jenderal TNI Purn). Pak  Sarwo Edhie mengenal bapak sejak tahun 1942 di asrama PETA di Bogor, di mana dia tidur satu kamar dengan bapak. Sejak selesai pendidikan Sho Dan-cho, mereka terus bersama-sama. Lulus dengan baik dan PETA kemudian menjadi pelatih tentara baru Peta di Magelang. 8. 15 / 251-290 PNI dan ABRI Sejak Semula Bekerja Sama untuk Menghadapi Bahaya PKI. Di bagian ini akan diungkapkan suatu bukti bahwa sejak tahun 1964-an saya (selaku pimpinan PNI) dan Jenderal A. Yani yang pada waktu itu menjabat sebagai KASAD, telah menjalin kerja sama yang serasi dalam menghadapi ancaman bahaya PKI. Secara konkret, masalahnya berkisar pada “Senamsenam revolusioner” yang dilakukan oleh masa PKI di Boyolali, di Bandar betsy, Sumatera Utara dan Bali, sebagai persiapan untuk melakukan kup. Pada permulaan tahun 1965, kekuatan PKI dan Ormas-ormasnya di Boyolali sudah diterapkan secara dominan dengan cara menekan rakyat hingga tidak lagi menghindarkan hakhak azasi rakyat petani di daerah tersebut. Konkretnya, rakyat petani biasa, khususnya yang menjadi anggota PNI dan Ormasormas PNI, tidak lagi diberikan kesempatan untuk memperoleh air untuk mengairi sawahnya, jika tidak memiliki kartu anggota BTI. Mereka juga dihalang-halangi untuk menyelenggarakan pertemuan atau “sinonim” di antara kawan-kawannya sendiri. Terdorong oleh tekad untuk melawan  PKI yang sudah melakukan tekanan yang luar biasa terhadap rakyat biasa yang tidak sudi mengikuti jejak kaum Komunis itu, maka Saudara Hadisubeno dan saya mempunyai rencana untuk terjun di tengah-tengah rakyat Boyolali untuk menjelaskan bahwa ulah kaum Marxis Leninis itu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pada waktu itu saya mengusulkan, agar Saudara Hadisubeno dan saya pribadi sendiri bersama-sama dengan warga PNI-Front Marhaenis diperkenankan menjalankan operasi menegakkan sistem Demokrasi Pancasila di Boyolali itu. Kami hanya menghimbau agar petugas-petugas ABRi mengamati kebijaksanaan kami dari jauh, supaya tidak menyolok. Pola pemikiran itu juga saya usulkan untuk diterapkan di daerah-daerah lain, di mana PKI dan Ormasormasnya sedang menjalankan “senam-senam revolusioner.” Pada saat itulah terjadi suatu “gentlemen agreement” antara saya (yang mewakili PNI) dengan Jenderal A. Yani. Kesepakatan itu diwujudkan dalam bentuk “salaman” yang akrab. Setelah kejadian itu, saya dan kawan-kawan juga sudah  siap untuk melawan dominasi PKI, meskipun mendapatkan julukan “Komunisto phobia” dan “Marhaenisme Gadungan.” Namun, ada pepatah yang  mengatakan bahwa: “Manusia merencanakan sesuatu, tapi akhirnya Tuhan Yang Maha Esala yang menentukan. Setelah terjadi “gentlemen agreemen” termaksud di atas, Jenderal A. Yani berpergian ke Indonesia bagian Timur. Dan kemudian terjadilah tragedi nasional, yaitu timbulnya peristiwa G.30S, di mana Jenderal A. Yani dan Pahlawan revolusi lainnya menjadi korban kekejaman pelaku-pelaku yang gagal. 9. 16 / 291-302 bapak dalah seorang prajurit yang pendiriannya keras, seperi diucapkan Pak Nas kepadaku, “Dalam hal menumpas pemrontak, yani pendiriannya sangat keras dan banyak pandangan saya dikritik oleh Yani sebagai kurang tegas. Sebab bagi Yani sudah jelas. KSAD dilawan bawahan dan dalam disiplin dan hierarchie tentara, tidak bisa terjadi! Buat Yani, akalau ada yang berontak harus ditumpas.” Demikian sifat bapakku yang dapat aku gambakan ialah: tegas, cepat bertindak, disiplin, hormat pada atasan dan hangat pada bawahan. Di dalam ceramah-ceramah bapak, dapat dirasakn betapa sangat terkesan sekali pendirian bapak sebagai seorang prajurit TNI. Antara lain bapak bicara soal peranan Tentara Nasional Indonesia dalam pembangunan, sebagai berikut, “Kehadiran militer dalam senua bidang hendaknya jangan dianggap sebagai petunjuk bahwa Angkatan Darat sedang berusaha menegakkan pemerintahan militer atau suatu diktatur militer, melainkan didasarkan atas hasrat tentara untuk mengamankan program pemerintah. Tentara dapat menawarkan keterampilan dan memiliki “semangat yang menyala-nyala untuk mengabdi kepada bangsa, tujuan-tujuan revolusi, dan rakyat. “Tentara bukan satu golongan yang terpisah dari rakyat melainkan “dari rakyat, dan untuk rakyat.” Bapak juga mengambil langkahlangkah yang mencakup upaya memperkuat struktur teritorial dan meningkatkan penyebarluasan dan pelaksanaan doktrin perang wilayah oleh tentara bersama rakyat. Lahirlah Operasi Karya Angkatan Bersenjata yang mendapat restu dari Presiden Sukarno pada tanggal 3 Desember 1962. Operasi karya ini dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Bapak menyatakan bahwa Angkatan Darat dapat melibatkan dirinya dalam kegiatankegiatan seperti pembangunan dan perbaikan jalan, jembatan dan sistem irigasi, dalam pembangunan desa dan pendidikan kesehatan maupun pendidikan dasar, dan secara aktif membantu penduduk dengan misalnya membangun rumah-rumah ibadah. Bapak pada bulan Maret 1965 dengan tegas mengatakan  bahwa “Angkatan bersenjata sudah diakui memainkan peran utama samasa revolusi dan karena itu mendapatkan bagian dalam menentukan kebijaksanaan nasional, sama dengan partai politik dan badanbadan lainnya. Dan dalam ceramah-ceramahnya bapak selalu menekankan Pancasila sebagai dasar ideologis bagi Angkatan Dasar dan Bangsa. Seperti aku katakan sebelumnya bahwa menurut penuturan  teman-teman bapak, ia selalu hangat terhadap sahabat-sahabatnya. Berikut ini diungkapkan oleh Darto Kawitan, “Pada waktu di Kaimana, bapak secara spontan merangkul anak buahnya. Bapak mengatakan, “Karena engkaulah, Irian Barat telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.” Salah satu Foto yang pernah dibuat oleh Darto adalah suatu ironi sejarah. Yaitu sewaktu bapak merangkul Mayor Untung, yang kemudian menjadi pembunuhnya. Ini mengingatkan kita pada Brutus, yang membunuh Caesar, ayahnya. Ketika pisau belati akan ditancapkan ke tubuhnya, Caesar terperanjat dan berteriak ketakutan; Et tu, Brute, fili mi! (Dan, kau, Berutus, anakku!). 10. 17 / 303-306 Oleh sebab itu, sangatlah wajar apabila aku mengajak semua kaum muda dan para insan Indonesia untuk berdiri tegak, berani menghadapi tantangan demi untuk mengisi kemerdekaan ini. Marilah kita jadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar karena dia pantas menjadi bangsa yang besar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINGKASAN HULUBALANG RAJA

KODE DISKON RUANG GURU: MAYAA8QGN9PL7XUT